Menjelang tengah malam, 28 Maret 2005, Meulaboh diguncang gempa hebat. (Saya ingat tanggal ini karena beberapa hari setelah kejadian itu kami baru tahu bahwa gempa itu menyebabkan bencana besar di Nias). Kami semua berlari keluar rumah, ke jalanan yang gelap karena listrik padam. Terdengar jeritan panik, tetangga berlarian di jalan sambil menangis dan berdoa keras-keras.
Kami berlima bergandengan di luar, tak sepanik para tetangga. Ya tentu saja karena kami yang belum lama di Meulaboh tak bisa merasakan trauma mereka yang berhasil selamat dari gempa dahsyat dan tsunami tiga bulan sebelumnya. Kami tak akan pernah tahu rasanya kehilangan semuanya.
Malam itu, setelah guncangan reda, kami menunggu beberapa saat di luar. Gempa susulan makin mengecil (selama di Meulaboh gempa susulan sudah seperti rutinitas saja) dan saya merasa bahaya sudah lewat. Sayapun masuk lagi ke dalam rumah, menyelinap dalam kantong tidur dan berniat melanjutkan tidur yang tertunda — kerjaan berat menanti esok pagi.
Tapi teman-teman masih takut, mereka memutuskan berkemping di teras, seperti juga orang-orang lain di sepanjang jalan — agar mudah lari ketika bahaya mengancam. Dengan muka datar saya membujuk mereka masuk tapi mereka tak mau, jadi ya sudah saya tidur sendiri di dalam. (Di luar banyak nyamuk dan angin malam, lantainya juga dingin nggak sehangat di dalam)
Setelah kejadian itu saya dijuluki Meimei si muka datar tanpa emosi. (“Kamu ini keterlaluan tenangnya! Orang lain panik malah tidur!!”) Ditambah beberapa kasus serupa dimana saya selalu tenang-tenang saja, kelak saya dikritik karena tidak berusaha cukup keras membuat teman lain tenang juga. Kritik yang membuat saya merasa bersalah, karena percuma tenang sendirian kalau teman lain cemas dan panik kan?
Tiba-tiba hari ini setelah nonton Cabin In The Woods (film keren wajib tonton yang membuat kita menertawakan kematian), saya ingat peristiwa malam itu.
Entah itu tenang atau lugu, tapi saya rasa saya melakukan itu karena bagi saya kematian bukan hal yang menakutkan. Semua manusia akan mati, dan saya percaya bahwa kematian sudah ditentukan oleh takdir. Kalau sudah ditakdirkan, tidak ada jalan untuk lari. Maksudnya, bukan diam saja kalau mau ditabrak bus ya. Hidup sangat layak diperjuangkan hingga akhir. Maksudnya adalah, kamu di medan perang atau duduk manis di kamarmu mengetik blog, kalau memang sudah takdir, kamu tetap bisa mati.
Tanya! Bagaimana dengan merokok yang akan memperpendek umur? Atau makan buah yang akan memperpanjang umur? Saya percaya, merokok tak akan memotong umurmu, seperti juga makan buah tak akan menolak malaikat maut. Tapi tanpa merokok kamu bisa memanfaatkan misalnya lima tahun terakhir umurmu dengan berjalan-jalan di taman dengan bahagia bukannya terbaring di rumah sakit khusus kanker paru.
Dibanding mati, saya lebih takut ditinggal mati orang-orang yang saya sayangi. Aduh, bisa nangis semalaman kalau membayangkan ini. Perkara apa yang terjadi setelah mati, kita tak pernah tahu kan. Jika hari akhir benar-benar ada dan semua amal perbuatan kita dihitung, saya percaya Gusti Allah Maha Adil. Saya, seperti juga semua orang, harus menerima konsekuensi dari apa yang sudah saya perbuat.
Mumford and Sons, Winter Winds:
We’ll be washed and buried one day, my girl
And the time we were given will be left for the world
The flesh that lived and loved will be eaten by plague
So let the memories be good for those who stay
mbak muka datar, aku juga nonton cabin in the woods, asem seru tenan! hehe. soal mati aku setuju pandanganmu. mati ya mati aja, tapi sebelum mati kayak apa, itu penting. btw ini gegara percakapan di twitter bukan ya?
mbak muka datar, ketika kamu sudah pulang dan kami bertiga masih di meulaboh, kami sepakat ternyata kamu juga punya rasa takut. takut perutnya gendut.
(setelah dapat sms pagi-pagi kamu joging)
oo.. muka datar ya.. itu yg lbh gampang bikin panik orang.. *ups..*..
kirain dah ga bisa baca2 tulisan laman ini.. krn ituh, pilihan waktu buka alamat laman ini.. hehe..
yg lainnya, ngekor komen bunga aja.. 😀