Sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, perayaan Waisak selalu dipusatkan di Magelang, kota kelahiran saya. Setiap Waisak, warga Magelang beramai-ramai menunggu arak-arakan Waisak lewat di tepi jalan sekitar Candi Mendhut. Itu yang selalu kami lakukan, tapi tak pernah kami mengikuti prosesi utamanya.
Tahun ini, saya dan adik saya bertekad, kami harus menyaksikan puncak acara.
Saya tiba di Borobudur sekitar pukul 21.00. Tahun ini detik-detik Waisak adalah pukul 02.15. Jalan raya di depan candi nampak sepi, tak seperti Waisak yang biasanya macet. Konon tahun lalu kemacetan mengular hingga ke Palbapang arah Jogja. Kami masuk candi melalui pintu turis, gratis, meskipun tetap ada pemeriksaan barang bawaan.
Saat itu masih ada acara seremonial di Taman Lumbini. Pertunjukan kisah hidup Buddha sejak lahir, mencapai pencerahan, dan wafat: tiga hal yang diperingati pada Waisak. Upacara ini dihadiri Wakil Presiden Boediono. Meski demikian, pengamanan tak nampak ketat. Kami tetap bisa duduk bersama para undangan walau tak membawa undangan.
Acara selesai sekitar pukul 22.00, sedangkan acara perayaan utama baru dimulai pukul 01.00. Sementara menunggu, umat dan para biksu berdoa di tenda-tenda. Ada banyak sekali tenda, dan setiap tenda berdoa dengan cara berbeda. Aneka doa bergema di malam yang sejuk dengan sedikit gerimis itu.
Meskipun saya belajar tentang filsafat Buddha, tapi saya tidak tahu perkembangan agama Buddha di Indonesia. Saya tidak tahu ada berapa aliran yang berkembang di Indonesia, tapi sungguh saya takjub menyaksikan banyak aliran yang nampak berbeda, berada di tempat yang sama, bersebelahan dan berdoa memuji Buddha yang sama dengan beragam cara.
Ada tenda yang dijaga ketat, melarang siapapun memotret kegiatan mereka. Ada juga tenda yang terbuka, mereka tidak keberatan ditonton dan dipotret. Saat saya mendekati sebuah tenda, biksu tengah membagikan makanan untuk umat di tenda itu. Lalu biksu itu berjalan keluar tenda, dan membagikan makanan itu kepada semua orang yang ada di sekitar tenda. Termasuk untuk saya 🙂
Selepas tengah malam, semua orang beranjak ke pelataran Borobudur untuk mengikuti prosesi utama. Saat inilah kericuhan terjadi. Ada ribuan orang yang akan naik ke pelataran, tapi pintu yang dibuka hanya satu. Ribuan orang itu diharuskan lewat dua pintu pendeteksi logam — yang tentu saja tidak cukup.
Ribuan orang berdesakan ingin masuk. Awalnya antrian berlangsung tertib, tapi tak lama mereka yang di depan terdorong dari belakang. Saya tergencet tak bisa bergerak, hampir tak bisa mendapat udara segar. Saat itu saya melihat sepasang manula bergandengan tangan berusaha keluar dari kerumunan. Mungkin mereka sudah tak kuat lagi. Sedih. Mungkin mereka sudah jauh-jauh datang dari desanya, begadang hingga tengah malam, demi memujikan Buddha, tapi terpaksa menyerah karena terdesak dalam antrian.
Biasanya, perayaan Waisak terbuka untuk umum. Menurut salah seorang satpam, tahun lalu pengunjung membludak sehingga mengganggu perayaan. Akibatnya tahun ini pengamanan menjadi jauh lebih ketat. Tapi terlalu ketat sehingga hanya menyisakan dua detektor logam untuk dilewati ribuan orang.
Hanya mereka yang punya undangan yang boleh masuk. Pada saat-saat terakhir undangan bisa didapatkan dengan membeli lampion seharga Rp 130 ribu, berlaku untuk dua orang. Saya ikut teman yang punya undangan, namun akhirnya di pintu masuk yang begitu padat, sulit untuk memeriksa siapa punya undangan siapa tidak.
Setelah penuh perjuangan melewati antrian yang sangat padat, kami berhasil tiba di pelataran Borobudur. Panitia dari Walubi telah menyambut di tangga, tersenyum ramah dan memperingatkan agar semua berhati-hati. Borobudur tegak dalam kesendiriannya, sungguh berbeda dengan candi yang biasa saya saksikan penuh dikerumuni manusia itu.
Di pelataran sudah ada panggung, semua orang dipersilakan duduk. Karpet telah digelar, tapi sisa hujan beberapa jam lalu membuat para hadirin duduk di karpet basah. Acara seremonial dimulai, dengan aneka ceramah, termasuk imbauan dan doa agar pemilihan presiden berjalan lancar.
Detik-detik Waisak rupanya diisi dengan meditasi. Ribuan orang mendadak hening saat seorang biksu memimpin meditasi. Khusyuk dan syahdu, dengan bulan terang meskipun sebelumnya sempat tertuttup awan.
Sayapun kembali takjub karena setelah acara utama, tiba saat berdoa. Berbagai aliran bergiliran membaca doa, sementara semua umat duduk rapi dan ikut berdoa dan mengamini. Dimulai dari Mahayana, Tridarma, Theravada, Tantrayana, Kasogatan.. entah apa lagi, semuanya diberi waktu masing-masing lima menit. Saya bahkan tak berani membayangkan Syiah dan Sunni, LDI dan Ahmadiyah, bisa berdoa bersama bergantian dengan umat yang turut berdoa tulus dan mengaminkan doa dari kyai aliran lain.
Acara terakhir adalah pelepasan seribu lampion. Acara yang paling ditunggu-tunggu oleh para turis dan mereka yang datang hanya karena ingin melihat lampion. Tapi saya amati justru banyak umat yang pulang sebelum pelepasan.
Suasananya sungguh mistis dan syahdu. Hampir pukul empat pagi, kabut tebal turun menyelimuti Borobudur saat lampion pertama dilepaskan oleh biksu. Udara semakin dingin. Doa bergema berulang-ulang mengiringi lampion yang terbang tak henti-henti.
buddhang saranang gacchami
dhammang saranang gacchami
sanghang saranang gacchami
Sebait doa yang diucapkan tanpa henti itu berarti, kami berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha. Sebelum lampion dilepaskan, berbagai harapan dituliskan di setiap lampion. Ada seorang mbak-mbak yang menuliskan harapannya “semoga cepet nikah sama bule muslimâ€.
Saya tidak melepaskan lampion, hanya berdiri takjub menyaksikan semuanya. Rasa lelah dan ngantuk hilang menyaksikan perpaduan ajaib udara dingin, kabut, Borobudur, bulan purnama dan tentu saja ribuan lampion yang membentuk galaksi baru di langit.
Menurut saya, lampion yang indah itu justru bukan perlambang keinginan yang akan jadi nyata. Melepaskan lampion berarti melepaskan harapan, mengamatinya perlahan menjauh lalu lepas dari jangkauan, makin mengecil kemudian hilang di kegelapan langit.
Seperti ajaran Buddha, bahwa kebahagiaan tertinggi yang menjadi tujuan kehidupan adalah nibbana. Yaitu saat manusia perlahan mencapai kesadarannya dan terbebas dari keinginan dan hawa nafsu. Padam.
*Judul mengambil dari judul essai Sindhunata, Mei 1978. Waktu itu pusat perayaannya masih di Candi Mendhut.