Ditulis untuk Tempo, 08/May/2008 21:18:28
Sebagian besar dewa bulutangkis Indonesia adalah warganegara keturunan tionghoa. Sebut saja Christian Hadinata, Lius Pongoh, Susi Susanti, Imelda Wiguna dan Liem Swie King. Hendrawan, juga adalah keturunan tionghoa. Tapi jangan tanya soal nasionalisme padanya. Tiga kali ia membela Indonesia dalam perebutan Piala Thomas, tiga kali pula piala bergengsi itu dapat direbut.
Hendrawan memulai karirnya di Piala Thomas dengan menjadi tunggal putra kedua pada tahun 1998. Hongkong mejadi tempat pertarungan sengit Indonesia dan Malaysia yang lalu dimenangkan oleh Hendrawan dan rekan-rekannya dengan skor 3-2. Peningkatan prestasi membuat Hendrawan dipercaya sebagai tunggal pertama kejuaraan Piala Thomas tahun 2000 di Kuala Lumpur, Malaysia. China ditekuk tanpa perlawanan dengan skor 3-0.
Perebutan Piala Thomas tahun 2002 adalah saat-saat yang paling dikenangnya. “Piala Thomas 2002 adalah saat yang paling berkesan,†ujarnya ketika ditemui Tempo saat melatih tim Thomas 2008 di Istora Senayan (8/5). Bukan hanya karena Indonesia berhasil menang, namun juga karena kesulitan yang harus dilaluinya untuk dapat membela nama baik Indonesia di dunia bulutangkis internasional.
Kepergiannya ke Guangzhou, China, sempat terhalang karena masalah Surat Keterangan Bukti Kewarganegaraan (SKBRI). Ketika itu warga keturunan harus menunjukkan SKBRI ketika mengurus berbagai dokumen resmi, termasuk visa. Hendrawan dianggap sebagai orang asing yang harus membuktikan kewarganegaraannya. Padahal ayah dan ibunya juga warga negara Indonesia yang lahir dan menetap di negeri ini. “Sungguh tidak adil,†katanya sambil memberikan isyarat pada Simon Santosa untuk melompat lebih tinggi.
Sebelumnya ia tak pernah bermasalah dengan SKBRI. Pasalnya, ia menggunakan SKBRI dengan status anak dari kedua orang tuanya. Pada tahun 2001, ia menikah. Karena itu Hendrawan harus punya SKBRI sendiri. Ia mengaku enggan mengurus selembar surat itu. “Saya anggap itu tak perlu, karena saya merasa Indonesia sungguh,†jelasnya.
Keinginannya membela Indonesia memaksanya melalui birokrasi rumit untuk mendapatkan selembar surat sakti tersebut. Permohonanpun diajukan pada Agustus 2001. Tunggu punya tunggu, hingga menjelang keberangkatannya tim Thomas pada April 2002, SKBRI tak kunjung jadi. Delapan bulan sudah ia menunggu dalam ketidakpastian.
“Saya ingin membela nama Indonesia kok malah dihalang-halangi,†keluhnya waktu itu. Untunglah, keluhan itu didengarkan oleh presiden Indonesia saat itu, Megawati Soekarnoputri. Perintah presiden rupanya obat manjur untuk meluruskan keruwetan birokrasi. Dalam satu hari SKBRI itu jadilah.
Tim Thomas 2002 genap sepuluh, merekapun berangkat ke Guangzhou. Poin demi poin didapat Indonesia, sampai skor menjadi 2-2. Pertarungan penentu dimainkannya melawan Roslin Hasyim dari Malaysia. Nasib Indonesia berada di tangannya. Dan harapan itu tidak sia-sia. Indonesia menang 3-2, Piala Thomas diraih lima kali berturut-turut sejak 1994.
Setelah itu, Hendrawan memutuskan gantung raket. Ia merasa kiprahnya sebagai atlet sudah cukup. Kecintaannya terhadap bulutangkis disalurkannya dengan menjadi pelatih tim putri. Ayah dua anak itu sempat berpindah jalur sebentar, dengan bekerja di sebuah perusahaan. Namun lapangan hijau tetap melambai-lambai di pelupuk matanya.
Ia kembali menjadi bagian Piala Thomas, kali ini sebagai pelatih. Sony Dwi Kurniawan, Simon Santoso dan Tommy Sugiarto dipercayakan dalam asuhannya. Tentu saja juara dunia 2001 ini berharap Indonesia dapat mengulang kesuksesannya, enam tahun lalu.
Nama: Hendrawan
Tempat tanggal lahir: Malang, 27 Juni 1972
Nama istri: Silvia Anggraeni
Nama anak: Josephine Sevilla (7 tahun)
Alexander Thomas (6 tahun)
Prestasi:
1998 Runner up Asian Games, Bangkok
1998 Juara Singapura Terbuka
2000 Medali perak Olimpiade Sidney 2000
2000 Runner up Jepang Terbuka
2001 Juara Kejuaraan Dunia
2001 Juara Piala Sudirman
[Famega Syavira]
Featured images diambil dari foto berlisensi CC di sini.