Ditulis untuk Tempo, 08/May/2008 00:24:49
Jakarta, 1975. “Ojo kuwatir Mbak Mien,†ujar Imelda Wiguna mantap. Ia berusaha menenangkan Minarni Sudaryanto yang menangis tersedu-sedu setelah kalah dari pasangan mumpuni saat itu, Margaret Beck/Gillian Gilks. Harapan meraih piala Uber untuk pertama kalinya, tertumpu pada hasil pertandingan selanjutnya. Kala itu, Imelda adalah harapan.
“Waktu itu rasanya saya yakin akan menang,†kenangnya. Harapan ribuan orang yang menyemut sampai ke pinggir-pinggir lapangan itu tidak sia-sia. Dua pertandingan selanjutnya dimenangkan dengan gemilang. Kemenangan itulah yang mengantarkan Indonesia merebut Piala Uber untuk pertama kalinya. Dukungan penonton diakuinya sangat berpengaruh dalam keberhasilan itu.
“Suasana saat itu masing terbayang jelas sampai saat ini,†ujarnya dengan mata menerawang. Suasana meriah penyambutan masyarakatlah yang selalu membuatnya terkenang. Bayaran secara materi menjadi tidak penting lagi. Penghargaan dari masyarakat saja sudah membuatnya merasa berharga. Ia dan kawan-kawannya sudah luar biasa gembira menerima kain dan sepotong pin dari ibu negara kala itu. Pin itu masih disimpannya sampai sekarang.
Mungkin berkat fisiknya yang terjaga, dalam usia 57 tahun Imelda terlihat masih sangat bugar dan cantik. Atlet yang memperkuat Indonesia dalam lima pertandingan piala Uber ini tetap bersemangat saat ditemui Tempo di sebuah kafe, meski sambil mengenakan perban di leher. Bekas operasi pada pertengahan April. Latihan yang tidak benar saat menjadi atlit dulu rupanya melukai syaraf lehernya. “Dulu kami tidak tahu jenis latihan fisik macam apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,†ujarnya. Ia dan kawan-kawannya dulu sering berlomba memacu fisik sampai batas tertinggi.
Imelda mengaku punya sifat yang tidak pernah mau kalah. Jangankan dengan lawan di lapangan, saat berlatih dengan temanpun ia selalu berusaha maksimal. “Persaingan saat latihan sering membuat kami diem-dieman sampai di asrama,†jelasnya sambil tergelak.
Pebulutangkis yang mengaku paling cocok dipasangkan dengan Verawaty Vajrin ini belajar banyak dari pengalamannya menjadi pemain ganda. Antara lain belajar untuk tidak menimpakan kesalahan pada orang lain. Menurutnya pemain ganda akan sukses bila saling mendukung. “Sampai larut malam saya selalu berdiskusi dengan pasangan main saya, saling menilai kelemahan satu sama lainâ€, kenangnya. Ini adalah caranya untuk menjaga kekompakan.
“Pemain bulutangkis juga tak boleh punya mental mudah menyerah,†tegasnya. Lawan yang dulu paling ditakutinya justru Jepang yang tidak bagus secara teknik. Pasalnya, pemain Jepang dikenal pantang menyerah. Menghadapi lawan macam ini, kadang ia merasa kalah dalam perang mental. Padahal, mental adalah hal terpenting menurutnya.
Pada tahun 1986, istri Ferry H Kurniawan ini memutuskan untuk berhenti menjadi atlet. Saat itu wanita kelahiran Slawi, 12 Oktober 1951 ini sudah punya satu anak. Meski tak lagi jadi atlit, ibu dua anak ini merasa berhutang budi pada PBSI dan masyarakat yang telah mendukungnya. “Saya menjadi seperti sekarang ini berkat PBSI,†ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Untuk membalas budi, ia sempat aktif di PBSI menjadi pelatih, lalu aktif menjadi pencari bakat-bakat baru bulutangkis.
Empat tahun berkeliling ke pelosok negeri, rupanya ia merasa kerja kerasnya tak dihargai. Dua bulan lalu Cik Im, begitu ia biasa dipanggil, resmi mengundurkan diri. “Saya memutuskan untuk menjadi pelayan Tuhan saja, lebih pasti,†jelasnya pelan. Imelda kini aktif berkeliling memberikan pelayanan ibadah.
Meski demikian niatnya memajukan bulutangkis tetap membara. “Saya membantu program pengadaan lapangan bulutangkis di daerah-daerahâ€, jelasnya. Ia mengenang kecintaan akan bulutangkisnya yang tumbuh ketika bermain di lapangan outdoor, puluhan tahun lalu.
Imelda Wiguna adalah salah satu dari sedikit atlet yang dikenal serba bisa. Bermain ganda putri, ia juara. Bermain ganda campuran juga bukan masalah. Hingga kini masih ada obsesi yang ia simpan. Peraih emas Asian Games 1978 ini ingin agar ada atlet muda Indonesia yang menyamai prestasinya saat menyabet juara ganda campuran All England. Ia meraihnya bersama Christian Hadinata pada tahun 1979, dan belum terpecahkan hingga saat ini.
Untuk itu ia menitipkan pesan untuk para atlet muda. “Kerjakan saja bagianmu sebaik-baiknya dengan latihan teknik, fisik dan otak. Selanjutnya percayakan pada kuasa Tuhan,†ujarnya menutup pembicaraan.
[Famega Syavira]
Foto: Pemain bulu tangkis ganda putri Indonesia, Rosiana Tendean dan Imelda Wiguna, bertanding dalam kejuaraan Piala Uber di Istora Senayan, Jakarta, 1986. [TEMPO/Rizal Pahlevi; 10C/110/1986; 10C11011]