Rombongan pria bersarung dan perempuan dengan muka berlumur bedak dingin di depan pintu kedatangan, seperti menyambut saya di Bandar Udara Yangon, Myanmar, April lalu. Pemandangan ini kontras dengan bandara yang modern, berhias bunga-bunga untuk menyambut tahun baru yang tinggal beberapa hari lagi.
Para biksu berjalan beriringan. (Wagner T. Cassimiro “Aranha”/Flickr)
Yangon adalah kota terbesar di Myanmar dengan populasi empat juta penduduk. Kota yang dulu disebut Rangoon ini adalah ibukota negara, sampai pada tahun 2006 pemerintah memutuskan untuk memindahkan ibukota ke Naypyidaw; sebuah kota yang dibangun dari nol.
Begitu memasuki kota, perhatian langsung tertuju pada ramainya jalanan. Mereka berkendara di sebelah kanan, tapi sebagian besar kendaraan memiliki setir di sebelah kanan juga. Hanya sedikit mobil keluaran baru yang memiliki setir di sebelah kiri. Rasanya ngeri saat mobil yang saya tumpangi berusaha mendahului kendaraan lain, tapi sopirnya kesulitan melihat ke depan. Juga, tidak ada satu pun sepeda motor di seluruh Yangon. Menurut supir taksi yang mengantar saya, sepeda motor dilarang di seluruh kota karena pernah ada seorang petinggi yang tertabrak motor.
Myanmar adalah negeri yang penduduknya mayoritas beragama Buddha. Selalu ada stupa berwarna emas kemana pun mata memandang. Pagi hari di Yangon dimulai dengan rombongan biksu berbaris membawa periuk untuk meminta sedekah kepada umat.
Shwedagon di malam hari. (Flightspeed/Flickr)
Namun untuk merasakan atmosfer religiusitas yang kental, kita harus mengunjungi . Shwedagon adalah pagoda paling mengesankan di seluruh Myanmar, bangunan suci paling dihormati. Umat Buddha di seluruh negeri menyempatkan diri untuk berziarah ke tempat ini.
Waktu terbaik mengunjungi pagoda ini adalah sore hari menjelang senja. Bukan apa-apa, tapi peraturan di pagoda di seluruh Myanmar adalah setiap pengunjung harus melepas alas kaki. Sungguh menyiksa berjalan tanpa alas kaki di lantai pada siang hari yang panas. Apalagi suhu di Myanmar bulan April berkisar antara 37-41 derajat celcius.
Menjelang senja, pengunjung semakin ramai. Barisan biksu berdoa mengelilingi candi searah jarum jam sambil membawa bunga mengeliling pagoda. Umat Buddha bersimpuh di depan arca di tempat khusus sesuai hari lahir mereka. Saat malam tiba, tata cahaya membuat candi emas ini makin memukau.
Shwedagon berusia sekurangnya 2.500 tahun, dimulai hanya dari bangunan setinggi 8 meter, tapi kini sudah menjadi bangunan setinggi 110 meter. Candi ini terbuat dari emas, dengan ribuan permata di puncaknya, termasuk sebuah permata 72 karat. Shwedagon dibangun untuk menghormati delapan helai rambut Buddha Gautama yang diletakkan di dalamnya.
Shwedagon adalah jantung kota Yangon. Pagoda ini dapat dilihat dari hampir semua sudut kota, dan berpengaruh terhadap harga properti. Makin jelas Shwedagon terlihat dari sebuah gedung, harga properti tersebut akan makin baik.
Seperti Jakarta, Yangon tak punya jaringan transportasi umum yang memadai. Pilihannya adalah bus besar tua, atau mobil bak terbuka yang dimodifikasi untuk mengangkut penumpang sampai ke atap-atapnya. Selain itu ada pula sejenis becak dan taksi, tanpa argo.
Sebagai negeri yang lama terisolasi dari dunia luar, kondisi Myanmar sangat kontras dengan ibukota negara lain di Asia. Negara ini baru pelan-pelan membuka diri setelah pemerintahan baru terpilih pada tahun 2011 dan melakukan reformasi. Negeri ini seperti punya dunianya sendiri. Menyenangkan rasanya berjalan-jalan di negeri yang tidak punya Mc Donalds, Starbucks dan KFC, apalagi butik premium. Semuanya lokal. Hanya ada sangat sedikit tempat yang menerima pembayaran dengan kartu kredit.
Tapi mungkin kondisi ini segera berubah. Investor luar negeri mulai melirik Myanmar sebagai pilihan tempat menanam modal. Menurut kawan saya Jonathan Cruz, warga negara Filipina yang bekerja di Yangon setahun terakhir, perubahan sangat cepat sedang terjadi di Myanmar. “Tahun lalu saat saya pertama kali datang, belum ada mobil sebanyak ini. Jalanan sepi dan bebas macet,” kata Jonathan. Kini kemacetan mulai nampak di beberapa ruas jalan yang saya lalui. Segeralah kunjungi Myanmar sebelum dia berubah.