Dimuat di rubrik perjalanan Koran Tempo, 29 Oct 2016.
Semula, Ali Salamat menolak permohonan saya untuk menumpang di rumahnya di Isfahan, Iran. Padahal sebelum ini ia sudah puluhan kali memberi tumpangan kepada turis asing yang datang ke kota cantik itu. Kenapa kali ini enggan? “Saya ditegur polisi, karena sering menerima orang asing,” kata Ali setelah akhirnya mengizinkan saya tinggal sementara di kediamannya itu.
Pemilik sebuah perusahaan arsitektur ini bercerita bahwa dia pernah dipanggil ke kantor polisi. Dia diminta tak lagi memberikan tumpangan kepada turis mancanegara. “Katanya hal itu melanggar hukum,” ujar dia. Tapi Ali tidak percaya begitu saja. Dia lalu menyewa pengacara untuk menelisik aturan tersebut.
“Kami menemukan sebenarnya boleh saja memberi tumpangan kepada orang asing, asal melapor ke Imigrasi,” kata Ali. Yang tidak melapor pun tidak kena hukuman berat. “Paling-paling bayar denda.” Dan akhirnya di sinilah saya sekarang, di rumah Ali. Setelah menolak dulu itu dia sempat bertanya apakah saya sudah punya rencana tinggal di rumah lain. Saya katakan tidak punya dan mungkin akan tidur di hostel. Ali pun langsung meminta saya datang ke rumahnya.
“Kamu mau ke Iran? Memangnya aman?”
Hampir semua teman dan keluarga bereaksi demikian saat saya memberi tahu akan melakukan perjalanan ke Iran. Kebanyakan mereka masih terpengaruh berondongan berita macam ini: gejolak politik, sanksi Amerika, dan program nuklir. Berita-berita itu menimbulkan gambaran tak sedap bagi negeri para mullah itu.
Tapi saya memang ingin ke sana. Dan bukan persoalan pelik untuk dapat menumpang di rumah warga lokal demi menghemat biaya, sekaligus mengenal kehidupan sehari-hari mereka.
Adalah Couchsurfing, platform pertukaran hospitality, yang memungkinkan saya tinggal di rumah warga lokal. Cara kerja situs ini mudah. Mereka yang bersedia menerima pejalan mendaftarkan rumahnya di website tersebut. Para pelancong pun tinggal mengirimkan permohonan untuk tinggal di rumah mereka.
Dan itulah yang saya lakukan sebelum berangkat ke Iran. Untuk itu, selama 25 hari penjelajahan di negeri Parsi pada September-Oktober ini, hanya enam hari saya menginap di hostel. Sisanya saya tinggal bersama warga Iran yang membuka lebar-lebar pintu rumahnya.
Kenapa mereka bersedia melakukan itu? Iranofobia yang melanda sebagian warga dunia tampaknya disadari betul oleh orang-orang Iran. Ada yang tak ingin hal itu terus berlanjut. Mereka ingin membuka diri. Mereka juga ingin berhubungan dengan warga bumi lainnya.
Lalu muncullah gerakan “See You in Iran”, berbentuk sebuah halaman di Facebook yang dibuat khusus untuk membantu para pejalan dan mengkampanyekan turisme Iran. “Di sini pejalan bisa berbagi pengalaman pribadi, bertanya dan menjawab pertanyaan terkait Iran, dan melawan Iranofobia,” kata Navid Yousefian, salah satu pendiri komunitas ini. Sekitar 78 ribu orang sudah tergabung sebagai anggota. Mereka adalah warga Iran, diaspora, ataupun turis yang pernah dan akan berkunjung ke tetangga Irak itu. Seperti saya.
Tentu saja perjalanan saya berawal dari Teheran. Inilah kota yang dihuni warga dari segala penjuru Iran untuk mencari pekerjaan. Saat ini populasinya mencapai sekitar 9 juta jiwa. Atau 16 juta jika ikut memasukkan kota-kota satelitnya. Jumlah total penduduk Iran 80 juta orang.
Teheran lebih terbuka daripada kota-kota lain di Iran. Saya melihat pakaian para perempuan di sini berwarna-warnitidak didominasi hitam, dan lebih bergaya. Para perempuan pun tak segan mengenakan riasan aneka corak yang sangat modern.
Di ibu kota ini saya menumpang di kediaman Hamid Mosfegh, seorang profesor fisika dari Universitas Teheran. “Saya menerima para pejalan karena ingin berbagi pengalaman. Juga menolong mereka,” kata dia.
Induk semang saya ini jugalah juga yang memberikan rekomendasi tempat yang harus saya kunjungi, bagaimana cara mencapainya, dan makanan khasnya. Saran ini tentu mempermudah perjalanan saya melintasi kawasan dari utara hingga selatan. Rute yang saya tempuh meliputi Teheran, Rasht, Qom, Kashan, Yazd, Isfahan, Shiraz, hingga ke pulau di seberang Uni Emirat Arab, Qeshm.
Setelah Teheran saya pergi ke Qom, kota suci kedua bagi warga Iran. Qom adalah pusat belajar Syiah terbesar di dunia, dan lokasi makam Fatimah al Masoumeh, saudara Imam Reza. Untuk masuk ke kompleks makam, semua perempuan harus mengenakan chador (kain lebar yang diselubungkan menutup seluruh tubuh).
Kota suci pertama adalah Mashhad, lokasi makam Imam Reza, satu-satunya imam Syiah yang dimakamkan di Iran. Di kota ini juga terdapat Masjid Jamkaran yang dipercaya sebagai tempat munculnya Imam Mahdi, alias Imam ke-12 Syiah. Para peziarah datang dan memohon agar Imam Mahdi segera kembali dan menyelamatkan dunia.
Setelah Qom, saya melanjutkan perjalanan ke Isfahan dengan bus VIP. Iran memperlakukan bus dengan serius. Naik bus di Iran adalah pengalaman yang nyaman, aman, dan murah. Semua penumpang mendapatkan jus dingin dan aneka camilan yang diantarkan dengan baki oleh pramugari bus. Kendaraan ini tiba di terminal dan berangkat sesuai dengan jadwal.
Isfahan adalah pusat Kerajaan Persia abad ke-16, dan pernah menjadi kota paling besar di dunia. Itulah asal mula ungkapan “Isfahan adalah setengah dunia.” Isfahan punya alun-alun yang termasuk terbesar di dunia, dengan istana, pasar, dan dua masjid cantik yang mengelilinginya.
Di Isfahan inilah saya menumpang di rumah Ali Salamat. Kembali dia bercerita tentang besarnya hasrat warga Iran untuk yang berinteraksi dengan orang asing. “Saya ingin berbagi kehidupan kami. Saya ingin belajar dari tamu yang datang, dan mereka juga bisa belajar dari kehidupan kami,” kata dia.
Dia mengaku mengenal banyak orang yang sebenarnya terbuka memberikan tumpangan kepada orang asing seperti dirinya. “Tapi mereka takut terhadap aturan,” kata Ali. Dalam waktu dekat dia akan mengundang teman-temannya itu dan memberi tahu mereka tak masalah menjadi induk semang, asalkan sesuai dengan aturan.
Salah satu aturan itu, ya, melaporkan ke Imigrasi bahwa akan memberi tumpangan kepada orang asing. Proses pelaporannya tidak memakan waktu lama. Saat di Kota Shiraz, host Samaneh Zand membawa saya ke kantor Imigrasi. “Sebelum kamu datang saya sudah melapor, tapi dia minta saya datang lagi kalau kamu sudah datang,” kata Samaneh.
Kalaupun ada masalah adalah soal penyesuaian dengan kebiasaan setempat. Saat masuk ke kantor Imigrasi, seorang petugas perempuan menarik saya dari antrean dan membawa masuk ke ruangan. Ia tak henti mengomel (tentu saya tak tahu artinya). Dia menunjuk-nunjuk rok panjang saya, yang rupanya terlalu tipis. Apalagi saya tidak mengenakan celana panjang di baliknya. Lalu dengan sigap dia memakaikan chador sebelum menyuruh saya ke antrean. Orang-orang lain tertawa simpati melihat itu.
Kepada petugas kami memberikan salinan paspor. Dia juga mencatat beberapa data. Petugas menjelaskan kepada Samaneh bahwa menjadi host harus bertanggung jawab jika sesuatu terjadi pada saya. Samaneh mengerti, lalu proses selesai. Setelah itu kami bebas pergi ke mana saja.
Shiraz mungkin lebih dikenal sebagai nama wine. Memang, dulunya kota ini adalah penghasil wine kondang pada masa Marco Polo. Sejak revolusi Islam, semua pabrik wine ditutup dan alkohol dinyatakan sebagai barang terlarang.
Dari Shiraz mudah untuk pergi ke Persepolis, reruntuhan istana yang dibangun Darius I pada pada 516 SM. Meskipun hanya tinggal reruntuhan, keagungan Persepolis masih terasa hingga kini.
Saya tinggal di rumah Samaneh selama empat hari. Bapaknya adalah generasi tentara yang berjuang di perang Iran-Irak. Kakek Samaneh adalah pendukung revolusi Khomeini tahun 1979.
Ibu Samaneh memasak makanan paling enak yang pernah saya makan di Iran. Setelah bersantap, adik Samaneh memainkan sitar, instrumen tradisional, dan melantunkan lagu-lagu tradisional Iran. Pengalaman ini tentu tidak akan saya dapatkan jika saya menginap di hotel.
Tempat terakhir yang saya kunjungi adalah Pulau Qeshm. Di sini saya tinggal di guest house milik warga setempat bernama Assad. Kali ini saya harus membayar US$ 13 per malam, termasuk makan tiga kali sehari.
Meski membayar, saya merasa seperti tinggal di rumah teman, karena Assad tak pernah perhitungan. Dia, misalnya, membawa saya dan tiga tamu lain berkunjung ke rumah orang tuanya, keliling pulau, memancing, mentraktir es krim, dan mengantarkan ke kota lain. Semua dilakukan tanpa menarik bayaran. “Saya ingin agar turis merasa aman di Iran dan tidak dicurangi harga mahal.”
Assad rasanya adalah tipe orang Iran yang pada dasarnya suka menolong. Saya teringat beberapa kejadian yang menunjukkan hal itu. Sepanjang jalan ada saja kebaikan yang saya terima dari penduduk lokal. Sopir taksi Teheran yang mengantarkan saya ke rumah Hamid, misalnya, tidak mau dibayar. Lalu ada Reza, pemilik kedai kopi di desa Masuleh, yang juga menolak pembayaran dan justru mentraktir makan. Tak terhitung orang yang bertanya, “Apakah kamu perlu bantuan?” saat melihat saya kebingungan mencari alamat.
Sepanjang saya berada di Iran, pertanyaan yang sering saya terima adalah “Bagaimana pendapatmu tentang Iran?” Banyak orang yang saya temui selalu ingin memastikan bahwa perjalanan lancar, dan saya bisa melihat keindahan Iran tanpa gangguan.
Seorang turis dari Amerika yang saya temui di Isfahan mengaku sebenarnya dia takut setengah mati sebelum memutuskan datang ke Iran. Dia tetap pergi karena teman-teman Irannya di Amerika sukses meyakinkan dia bahwa negeri ini aman. “Tapi saya tidak membawa ponsel saya dan tidak mau menggunakan Internet di sini. Saya tidak mau e-mail saya disadap nantinya,” kata dia berbisik.
Pada akhir perjalanan, saya kembali ke rumah Hamid di Teheran. Dia, istri, dan anaknya menyambut ramah. “Nah, bagaimana perjalananmu? Apakah kamu merasa aman di sini?” pertanyaan itu yang terlontar pertama kali.
Mereka sangat lega ketika tahu, selain beberapa insiden kecil, secara umum saya merasa sangat aman. Penduduk di sini menerima dengan terbuka.
Saya memang melakukan perjalanan sendirian, tapi pada akhirnya, saya tidak pernah sendirian!
FAMEGA SYAVIRA PUTRI