Tidak ada yang lebih menakutkan dan menegangkan daripada mendaki Gunung Parang, dengan via ferrata sampai ketinggian 900 meter.
Saya pernah terjun payung, parasailing, susur gua, mengejar manta pakai pelampung tanpa bisa berenang, ditangkap aparat Iran di tengah laut, naik kereta pengangkut bijih besi yang melintasi Gurun Sahara. Saya juga pernah naik ke puncak Gunung Merbabu dengan jarak pandang 2 meter sampai bulu-bulu mata membeku, merangkak-rangkak di kegelapan malam yang hujan di hutan belantara Kerinci Seblat.
Tapi tidak ada yang lebih menakutkan dan menegangkan daripada mendaki Gunung Parang, dengan via ferrata sampai ketinggian 900 meter. Terutama, ketika perjalanan turun.
“Tinggi Monas 137 meter,” kata Valdya, teman seperjalanan saya. Menara BCA, tingginya 230 meter.
Kami bergelantungan dengan tali di tebing vertikal di ketinggian 6 kali Monas, hampir 4 kali tinggi Menara BCA! Saya akan mengingat fakta ini setiap makan siang di ruang makan kantor yang menghadap ke Menara BCA.
Saya pertama kali melihat Gunung Parang yang ada di Purwakarta ini dari story Instagram Iko Iqbal Himawan. Foto-fotonya sangat luar biasa dan premisnya menjanjikan ‘memanjat tebing yang bisa dilakukan oleh siapa saja’.
Dari situ saya mulai mencari tahu tentang via ferrata, istilah yang dipakai untuk menyebut jalur tangga besi yang ditanam di gunung batu agar lebih mudah didaki.
Via ferrata adalah bahasa Italia yang berarti ‘jalur besi’. Metode ini mulai populer saat Perang Dunia Pertama, sebagai cara agar para tentara bisa melewati pegunungan dan tebing.
Tak banyak jalur via feratta di Indonesia, dan Gunung Parang adalah salah satu yang tertinggi. Di Gunung Parang sendiri ada beberapa operator dengan jalurnya masing-masing, meski tak semuanya sampai ke puncak.
Saya mengajak dua teman kantor yang cukup gila untuk mau melakukan ini, Valdya dan Liza. Setiap hari kami memantau cuaca akhir pekan, dan akhirnya memutuskan datang pada hari Sabtu 22 Oktober 2022 karena menurut ramalan cuaca, kemungkinan hujan di pagi hari 40%.
Kami meninggalkan Jakarta pukul 5 lebih, dan baru tiba sekitar jam 9 pagi. Jalan dari Jakarta ke Purwakarta lancar, namun 13 km terakhir harus ditempuh dalam satu jam karena jalannya jelek, dengan beberapa bagian berbatu.
Langit biru cerah, sedikit awan, gunung batu besar menjulan di depan mata. Kami menatapnya dengan takut-takut. Benarkah kami akan memanjat gunung itu? Masih ada waktu untuk mundur? Tapi penasaran! Mari kita coba! (ini pembicaraan dalam hati)
Sebelum naik, para pemandu membantu kami memasang harness pengaman di badan, terhubung dengan dua tali berkarabiner.
Ketika mendaki, satu karabiner dikaitkan ke tangga, satunya dikaitkan ke tali utama yang terhubung hingga ke atas gunung untuk keamanan ganda.
Setiap langkah, karabiner dipindahkan secara bergantian. Tidak boleh ada satu saat pun kita berada di tangga besi tanpa karabiner yang terkait.
“Karabiner harus selalu dikaitkan, jangan sampai ada dalam kondisi karabiner tidak terkait dua-duanya. Jangan sampai ingin cepat tapi mengabaikan keselamatan,” kata Baban, salah satu pemandu.
Kami naik bebarengan dengan beberapa grup lain, kami bertiga paling depan, karena tujuannya ke 900 meter. Sebagian hanya akan mendaki sampai ketinggian 300 meter.
Ketika pertama kali naik, saya harus melawan semua insting yang dikirimkan tubuh, bahwa kita bukan kambing gunung dan manusia sebaiknya menapak di atas tanah. Seperti pertama kali terbang dengan pesawat.
Akal sehat mencoba menenangkan dengan berkata bahwa, kita melakukan ini karena percaya bahwa tangga tertanam dengan baik di tebing dan tali-tali ini akan melindungi kita. (Yang dilanjutkan dengan pikiran, cuma tali-tali ini yang memisahkan kita dengan maut???)
Di depan muka saya adalah dinding batu, dan saya fokus meraih tangga yang ada di atas saya, sehingga tidak terlalu memperhatikan ketinggian. Saat pertama kali menoleh ke belakang… rasanya mencelos.
Waduk Jatiluhur terlihat tenang di kejauhan seperti mengelilingi kami, jalanan jelek yang tadi kami lewati seperti garis-garis cokelat yang menggambari permukaan hijau tanah pertanian. Genting rumah semakin lama semakin kecil.
Menuju ke titik 300 meter, perjalanan masih menyenangkan. Saya, Valdya dan Liza masih mengobrol dan tertawa-tawa. Hingga beberapa saat, saya bahkan menikmati melihat ke bawah dan melupakan ketakutan saya terhadap ketinggian.
Ada beberapa tempat datar untuk istirahat, beberapa titik untuk mengambil foto. Baban, salah satu pemandu, menunjukkan tempat-tempat terbaik untuk berpose dan dia sibuk mengambil foto dan video kami. Jadi, sebagian besar foto yang ada di post ini berasal dari hingga ketinggian 300 meter. (Setelah itu, survival! Tidak ingat foto lagi sampai ke puncak)
Di titik 300 meter, sebagian rombongan turun, dan beberapa melanjutkan perjalanan ke puncak. Dari sini, tidak ada lagi punggung gunung landai atau sedikit bidang tanah untuk beristirahat.
Semuanya vertikal tanpa jeda hingga ke puncak, Bahkan, di beberapa tempat, ada yang lebih dari 90′ seperti ini –> / meskipun tak terlalu miring. Pemandu muda, Soleh membantu dan menemani saya karena saya orang yang naik terakhir.
Di sini, rasanya berat sekali. Hari semakin siang, matahari sangat terik. Anak tangga dari besi menjadi sangat panas, tapi tetap harus dicengkeram kuat-kuat. Dalam hati saya mengomeli siapa pun yang memberikan impresi bahwa tidak perlu ketahanan tubuh besar untuk mendaki gunung ini. Sangat perlu! Beberapa kali saya minta istirahat, dan yang disebut istirahat adalah tetap berdiri di tangga besi sambil mengatur napas dan menurunkan detak jantung.
Untungnya di puncak ada beberapa pohon sehingga kami bisa istirahat dalam keteduhan, sampai merasa siap untuk turun lagi.
Naik, penuh perjuangan memang. Tapi turun adalah cobaan maha dahsyat.
Perjalanan naik memerlukan kemampuan fisik, sedangkan perjalanan turun amat perlu mental kuat.
Dalam perjalanan naik saya fokus pada dinding batu di depan muka, dan melihat besi berikutnya. Saat lelah, saya menoleh ke belakang dan melihat pemandangan indah yang selevel dengan mata saya.
Saat turun…
Saya harus melangkahkan kaki ke pijakan besi di bawah kaki, dan tentu saja agar kaki tidak terpeleset, pandangan mata harus diarahkan lurus ke bawah.
Di bawah kaki saya hanya ada besi kurus, ketinggian yang mengaburkan pandangan dan bumi yang terbentang begitu luasnya, sehingga horizonnya tidak lurus lagi, tapi melengkung.
Di ujung jari kaki adalah bentangan batu terentang jauh ke bawah sana tanpa terlihat dasarnya. Di belakang tumit, ada warna-warna bersisian, hijau pepohonan, blok-blok warna cokelat pemukiman warga, biru pucat permukaan Waduk Jatiluhur yang tertutup selaput putih seperti lapisan tipis awan atau asap.
Setiap langkah melihat ke bawah adalah pengingat bahwa tanah begitu jauh, dan rasanya, bahaya begitu dekat.
Selama mendaki, naik dan terutama ketika turun, seluruh tubuh dan indera saya terus-menerus tegang dan waspada. Satu kesalahan saja, mungkin akan fatal.
Mungkin saya tidak akan jatuh ke bawah karena tertahan harness, tapi tergantung hanya dengan tali di ketinggian ratusan meter tanpa daya, pasti cukup membuat trauma.
Dari semua orang yang ada di puncak, saya turun paling akhir. Seorang pemandu yang nampak paling senior menemani saya. Namanya Pak Jeje. Kulitnya coklat terbakar matahari, usianya mungkin 50-60 tahun, saya tidak bertanya.
Dia turun setelah saya, jadi posisinya selalu satu-dua anak tangga di atas saya, membantu memasangkan tali pengaman. Seperti cheat di game, jalan saya jadi lebih mudah karena tidak perlu memikirkan memindahkan tali setiap melangkah, dan cukup fokus pada tangga saja.
Sambil menuruni tebing vertikal, dia bercerita bahwa dialah yang memasang semua pijakan besi di jalur ini.
“Saya yang pasang semua besi, dibantu anak saya, Soleh. Sudah, berdua saja,” katanya. Soleh juga bekerja sebagai pemandu, anak muda yang tadi membantu saya di perjalanan naik.
Pak Jeje menjelaskan bahwa proses pemasangan dimulai dengan cara mengebor batu sedalam 30 cm. “Bornya teknologi impor dari Jerman,” kata Pak Jeje bangga.
Satu anak tangga perlu dua lubang bor. Lalu besi yang sudah dibengkokkan berbentuk n dimasukkan ke dalam lubang bor, lalu dilem dan dikunci. Jangan tanya lebih lanjut tentang penjelasan teknis ini karena saya tidak bertanya lebih lanjut sehingga saya tak paham. Ingat, pembicaraan ini terjadi di tangga besi ratusan meter di atas tanah.
Jarak rata rata antar tangga adalah sekitar 25cm (lupa tepatnya karena percakapan ini terjadi di bagian ketika tangganya berkelok jadi saya panik), yang menurut Pak Jeje adalah yang paling ergonomis dari pengalamannya selama ini. Kalau lebih dekat, dengkul akan sering terantuk. Kalau lebih jauh, setiap langkah akan semakin berat dan menghabiskan energi.
Listriknya disambung dari bawah, dengan kabel sepanjang lebih dari 1.500 meter.
Setiap hari selama enam bulan, di bawah teriknya matahari, Pak Jeje dan Soleh bergantian mengebor gunung dan memasang besi. Satu hari kerja mereka bisa memasang 20 anak tangga.
Mereka perlu sekitar 6 bulan untuk memasang sekitar 2.800 anak tangga dari atas ke bawah. Awalnya tangga hanya dipasang hingga ke ketinggian 300 meter. Kemudian, ramainya peminat membuat pengaturan sulit karena orang yang turun sering kali berpapasan dengan orang yang naik.
Kemudian dibangunlah jalur khusus untuk turun dari 300 meter. Selanjutnya, dibangun tangga lanjutan hingga ke puncak, 900 meter.
Lalu siapa yang mengajari dan mengontrol hasil kerja Pak Jeje?
Tentu berbahaya sekali kalau ‘infrastruktur’ semasif ini hanya dikerjakan oleh bapak dan anak tanpa ada yang mengecek kualitasnya. Rupanya Pak Jeje diberi instruksi oleh kelompok pecinta alam Wanadri, komunitas pendaki tebing dan beberapa lembaga pula yang mengecek kelayakan via ferrata ini.
Ada lebih dari 4000 total anak tangga atau pijakan besi yang kemudian dia pasang secara bertahap di gunung ini.
“Mendaki gunung ini memang hobi saya sejak muda. Sejak dulu, saya sudah memanjat gunung ini. Tapi dulu tanpa alat,” katanya sambil tertawa. Dia sering mengajak Soleh dan anak-anaknya yang lain sejak mereka kecil.
Anak perempuannya pun sempat bekerja sebagai pemandu. “Tapi sekarang dia sudah menikah, sudah tidak mau lagi.”
Menurut Pak Jeje, pada umumnya orang perlu waktu 5-6 jam untuk perjalanan naik dan turun Gunung Parang. “Kalau sendirian, saya perlu satu jam total untuk naik dan turun,” katanya. (Kami naik dalam 2,5 jam dan turun dalam 1,5 jam)
Dia menceritakan bahwa pernah pada suatu hari ada sekelompok orang yang mengadakan acara di puncak gunung seharian. Di hari itu, dia naik turun gunung lima kali pp. “Saya mengantarkan makanan dan membawa galon air juga, yang dimasukkan ke tas keril besar,” katanya.
Dia juga sering naik turun membawa kayu dan peralatan untuk membuat saung di puncak dan di sepanjang jalur. “Tapi atapnya selalu terbang tertiup angin,” kata Pak Jeje. Sementara, pondok di tengah jalur hanyut karena derasnya air saat musim penghujan.
Saya selalu berusaha berpikir optimistis, “nah ini sudah semakin dekat dengan kaki gunung, sedikit lagi sampai” tapi pikiran negatif menyeterika si positif dengan “memang lebih dekat, tapi tidak cukup dekat untuk menyelamatkanmu kalau jatuh tetap fatal!”.
“Mengobrol membuat kita santai, jadi tidak terlalu tegang,” kata Pak Jeje seperti membaca pikiran saya.
Kata-katanya benar. Saya tetap waspada dan berhati-hati melangkah, tapi mengobrol dengan Pak Jeje membantu menenangkan bisikan-bisikan negatif pikiran itu.
Dia sabar mengiringi saya yang bergerak lambat seperti keong, sambil merokok. Sesekali dia menawarkan air minum, karena saya tidak bawa (bodoh sekali). “Minum neng, untuk basahin kerongkongan aja,” katanya, menawarkan air yang tinggal sedikit.
Di sepanjang jalur tidak ada penanda jarak, jadi saya tidak tahu kami sudah ada di ketinggian berapa. Saya sering bertanya, ini kita sudah di ketinggian berapa? (Yang sebenarnya hati menjerit bertanya BERAPA LAMA LAGI). Pak Jeje selalu memberikan jawaban positif seperti “ya sedikit lagi kita sudah di 700-an” atau “lihat kan yang di bawah itu, dia sudah di 300”.
Ketika akhirnya sampai, kaki saya gemetar tanpa kendali, untuk melangkah pun saya harus menggerakkan tangan untuk membantu agar lebih seimbang.
Menapak ke tanah dengan kaki sendiri tidak pernah terasa senyaman ini.
Kami bertiga selamat! Hasil kerja Pak Jeje terbukti mumpuni. Terima kasih Pak Jeje!
Setelah mendaki kami bersyukur karena telah memesan makan siang di basecamp. Dengan harga Rp25 ribu, kami mendapatkan nasi, sayur asem, tempe, tahu, ikan, ayam goreng, dan sambal segar yang baru diulek, disajikan di cobeknya. Ini sungguh makanan paling enak, dan es teh paling menyegarkan di dunia.
Hujan turun tak lama setelah kami turun. Sesuatu yang patut disyukuri, karena menurut Pak Jeje, hujan sering datang tiba-tiba ketika pendaki sedang berada di atas gunung. Kalau sudah hujan, menurutnya yang paling berbahaya adalah risiko tersambar petir karena tangga terbuat dari besi.
Sepanjang 4 jam perjalanan pulang saya berpikir, adakah yang lebih menegangkan dari menuruni gunung tadi? Tidak ada.
Dahulu warga sekitar menjuluki Gunung Parang sebagai Gunung Barang. Sebab mereka percaya, barang siapa mencari di sini, akan menemukan.
Mungkin saya tidak mencari apa-apa, namun pendakian ini seperti memberi saya rasa syukur yang besar kepada Allah, bahwa hidup kita sangat rapuh, karenanya, sangat berharga. Memaksa diri melakukan hal yang tak nyaman untuk tubuh dan pikiran membuat saya lebih bersyukur akan kesehatan dan kemampuan melakukan perjalanan ini.
Saya tiba di apartemen sekitar pukul 20.30. Lengan dan kaki saya terbakar matahari, seluruh tubuh terasa sakit. Telapak tangan merah dan berdenyut, seluruh lengan nyeri, dari kulit yang terbakar matahari hingga ototnya yang pegal sekali.
Leher pegal karena menunduk terus, punggung dan otot perut, dan kaki tentunya, tapi saya sudah lebih terbiasa dengan rasa sakit di kaki setelah naik gunung. Rasa pegal dan sakit ini sangat berbeda dengan kondisi tubuh setelah naik gunung yang biasanya terdiri atas jalan kaki sepanjang hari selama dua hari.
Ketika naik gunung biasa yang ditempuh dengan berjalan kaki, rasa sakit dan pegal terfokus pada kaki dan sedikit di area tubuh lain. Dalam kasus ini, saya bahkan tidak bisa membedakan rasa sakit di tangan ini berasal dari kulit atau otot.
Baru kemudian ketahuan setelah saya mandi air panas, sakit sekali di kulit! Jadi sumber rasa sakitnya adalah di kulit yang terbakar dan otot yang pegal.
Malam itu dan malam berikutnya, ketika saya memejamkan mata, yang saya lihat adalah ketinggian yang mengaburkan pandangan dan bumi yang terbentang begitu luasnya di bawah kaki saya.
—
Panduan singkat:
– Operator Badega Gunung Parang (IG: https://www.instagram.com/gunungparang_badega/) menyediakan paket 300 meter (200 ribu) dan 900 meter (400 ribu) – harga Oktober 2022.
– Dari Jakarta sebaiknya menggunakan mobil dengan sopir agar ketika turun gunung dan kaki masih gemetar tidak perlu memikirkan menyetir pulang. Masih perlu 1,5 jam dari Purwakarta, dengan jalan berbatu yang jelek. Bisa juga naik kereta/bus dan atur penjemputan dengan operator Badega.
– Pakai tabir surya di muka dan badan
– Pakai sarung tangan, penting agar telapak tangan tidak sakit, juga karena kalau siang besinya panas kena sinar matahari
– Bawa air minum secukupnya, dan makanan ringan untuk menambah energi, seperti coklat atau madu.
Mbak me nderedeg kepoyoh dodok
nangissssss
Satu lagi dari sekian banyak pengalamanmu yang saya nggak bakal pernah punya. Nggak punya teman yang bakal ngajakin, dan kalo sendirian nggak bakal terpikir (dari semua yang Fame tulis cuma terjun payung yang sa inginkan). Eniwei, selamat sudah naik dan turun gunung dengan lancar.
Terima kasih Jensen! Aku pun masih mikir-mikir lagi kalau ada yang mau ngajak naik gunung pakai via ferrata seperti ini lagi :))
Saya pribadi bakal menghindari mbak, agak takut dengan model jalur begitu hahahahaha.
Selamat kembali menulis blog, mbak. Ntah sengaja atau tidak, mbaknya menulis tepat diperayaan hari bloger nasional yang mungkin tak semeriah lima tahun yang lalu.
iya ini secara kebetulan atau memang ditakdirkan untuk menulis di hari blogger. Terima kasih sudah membaca!
dirimu yaa, setinggi itu, ga pake sarung tangan, ga pake sunblock, ga bawa air minum. bandelnyaaaa ?
aku ga mau naik ke atas situ sepertinya, ngeri! salut untuk dirimu pokmen ??
kenapa jd ngasih tanda tanya padahal ingin ngetik tanda seru! ???
emang ngeri banget!!! huftttt. Thanks udah mampir om
Tulisannya panjang sekali, lumayan dirapel untuk 5 tahun ya!
sampai jumpa 5 taun lagi!!
Sampai jumpa di Repelita Kedua!
rasah ngajaki aku dan Yogi meneh ya. plis.
lakyo gari muni, ora, mboten, wegah!
Tida makasy :((((((
tehnit :(((((
Lain kali mau ikut dong…
tapi ga boleh mengeluh lho