Dalam kesulitan ada kemudahan, seperti akar-akar dan batang pohon selalu ada di sepanjang jalan ketika kami sedang butuh pegangan.
“Berani?” kata Iqbal sambil mengirim story pendakian Gunung Salak ke Instagram saya. Saya cuma balas “Ikut!”.
Demikianlah Iqbal, si tokoh mistis yang postingan Instagramnya membuat saya naik ke Gunung Parang, kembali menebar racunnya.
Saya tidak tahu apa-apa tentang Gunung Salak kecuali reputasinya sebagai hutan belantara lebat yang bisa menciutkan nyali pendaki. Ketika mencoba googling, hasil pencarian teratas berisi kisah-kisah seram. Jadi sudahlah, saya tutup halaman itu dan pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti.
Iqbal sudah mengurus semuanya termasuk berkoordinasi dengan porter dan menyetir dari Jakarta ke pos pendakian di Desa Pasir Reungit, jadi saya tinggal membawa tas berisi kantong tidur dan peralatan pribadi. Hari Jumat, setelah kerja, kami berangkat lepas tengah malam.
Sebenarnya, Pasir Reungit tidak begitu jauh dari Bogor. Hanya 28 km. Tapi perlu waktu lebih dari 2 jam menempuh 28 km tersebut karena di beberapa kilometer terakhir jalanan hilang, berganti hamparan kerikil dan batu-batuan gelap gulita.
Kami ditemani cahaya lampu kota dari bawah sana dan ada berbagai curug di sepanjang jalan. Tempat ini sebenarnya indah. Kalau infrastrukturnya bagus, pasti akan ada lebih banyak lagi orang (Jakarta) yang datang, mungkin bisa mengurangi beban yang diemban Puncak sebagai tempat wisata warga Jakarta.
Kami menjemput Aldo dan Ardian, dua anak muda yang akan menjadi pemandu sekaligus porter sekaligus koki, DJ dan menjaga kami. Mereka berasal dari desa tak jauh dari basecamp (sebelum jalam berubah offroad).
Pukul tiga pagi kami baru sampai di warung bapak Aldo di basecamp, lalu menggelar kantung tidur dan terlelap sebentar di amben samping warung. Paginya saya dibangunkan oleh Aldo yang membawa sepiring nasi dengan lauk indomie goreng.
Karbohidrat ganda inilah sumber kekuatan yang akan membawa kami menelusuri hutan belantara Taman Nasional Halimun dan Gunung Salak.
Kami mulai berjalan pukul 7 pagi. Rute Pasir Reungit sebenarnya agak memutar, tapi kami bisa mengunjungi Kawah Ratu terlebih dahulu sebelum naik ke Gunung Salak.
Perjalanan dimulai dengan trek yang cukup mudah, namun tantangannya adalah berjalan di permukaan jalan yang berbatu. Kami menyusuri jalan bagai lorong dengan pohon-pohon tinggi di kanan kiri, seperti memayungi jalan, sehingga tidak kepanasan meskipun hari ini cerah.
“Treknya indah sekali, nanti kita akan melewati tempat-tempat yang seindah di wallpaper Windows,” kata Iqbal yang pernah ke Kawah Ratu sebelumnya.
Sungai jernih mengalir di sepanjang jalan yang kami lalui, suaranya menenteramkan.
Saya jadi mengerti apa yang dimaksud Iqbal, tempat ini memang indah sekali. Bunga-bunga kecil bermekaran, cahaya matahari jatuh dari sela-sela daun, membuat air sungai berkilauan.
Pada suatu titik ada dua sungai kecil yang bertemu dan menjadi satu. Airnya begitu bersih sehingga aman diminum langsung. Sebagai penduduk Jakarta Utara dengan air tercemar ecoli, ini sangat mewah dan saya langsung mengokop langsung dari sungai. Airnya sungguh tak punya rasa dan aroma apa pun, sejuk, sangat menyegarkan. Rasa segarnya masih tersisa di mulut bahkan setelah beberapa saat.
Hutan cantik dengan sungai itu berujung pada kawasan berbau belerang dengan batu-batuan vulkanik dan pohon-pohon yang hitam terbakar. Kawah Ratu.
Kawah Ratu adalah bekas letusan Gunung Salak tahun 1938, namun sampai saat ini masih mengeluarkan air, uap panas dan gas belerang.
Bau belerang sangat menyengat kalau angin bertiup ke arah kita, dan kita berjalan di antara blukutuk-blukutuk air mendidih dan batu-batu berwarna aneh.
Di sini mengalir sungai yang berwarna biru dan ada yang tosca, cantik sekali. Kami harus menyeberangi sungai, jadi harus melepas sepatu terlebih dahulu. Dari tadi saya berhasil menghindari air masuk ke sepatu, sesuatu yang akhirnya akan sia-sia ketika menghadapi lumpur di kaki Gunung Salak.
Setelah Kawah Ratu, ada jalan setapak relatif datar menuju tempat yang dinamakan Simpang Bajuri. Di sinilah pendakian Gunung Salak yang sesungguhnya bermula.
Puncak Manik ‘hanya’ 2110 mdpl. Tapi kami berjalan lebih dari 12 jam.
Setelah melewati sungai terakhir, jalan masih cukup datar, tapi di beberapa tempat berlumpur seperti rawa kecil. Mati-matian saya berusaha melewati tepian rawa kecil itu, atau menjaga keseimbangan berjalan di atas batang kayu agar tidak terperosok. Tapi, beberapa kali gagal, sepatu merah muda saya mulai tertutup lumpur.
Reputasi Gunung Salak sebagai hutan belukar rimba belantara memang tidak salah. Kami hampir selalu dikelilingi pepohonan, tanpa ada tempat terbuka. Kadang jalan hanya cukup untuk satu orang. Beruntung gunung ini cukup sepi sehingga kami tidak sering berpapasan dengan pendaki lain.
Banyak semak berduri tapi juga banyak pohon berhiaskan anggrek liar. Menurut penerbitan ini, ada 258 jenis anggrek yang sejauh ini sudah diidentifikasi di Gunung Salak.
Jarak dari kaki gunung ke puncak adalah lima kilometer. Setiap 100 meter ditandai dengan patok angka, 1-50. Berjalan 100 meter di jalan datar, mungkin cuma perlu waktu 2 menit. Tapi di sini, rasanya sudah berjalan sangat lama tapi baru 100 meter.
Kami selalu senang menemukan patok penanda dan barangsiapa yang menemukannya terlebih dahulu akan berteriak untuk memberi semangat pada yang tertinggal (saya). “Empat belas!!”
Dari empat orang di grup kami, saya yang paling lambat berjalan sehingga sering tertinggal. Iqbal berjalan cepat tapi sambil merekam video untuk channel YouTubenya, yang saya manfaatkan untuk mengejar ketertinggalan.
Terkadang kami berjalan di pinggir tebing sehingga bisa melihat ke arah bawah dan tebing lain. Pada satu titik, kami bisa melihat Kawah Ratu yang sekarang sudah nampak sangat kecil nun jauh di sana.
Titik ini juga adalah jalan setapak kecil di punggung bukit, dengan jurang di kanan dan kiri. Jurangnya hampir tak terlihat karena tertutup semak, tapi yakinlah kalau salah melangkah sedikit saja, hidup kita yang fana ini jadi taruhannya. Apalagi di beberapa tempat, ada tanah yang longsor.
Kami tiba di patok ke 38 ketika cahaya matahari mulai menghilang. Tempat ini adalah sebidang tanah datar yang disebut juga dengan ‘puncak bayangan’, tempat mengumpulkan tenaga sebelum perjuangan terakhir mencapai puncak.
Kami tak istirahat lama karena udara semakin dingin. Malam semakin gelap, senter dinyalakan.
12 patok lagi, 1,2 kilometer paling berat yang harus dihadapi tanpa cahaya matahari.
Angin kencang bertiup di atas kami, menggoyang daun di pucuk pohon dan menjatuhkan titik air, mungkin sisa hujan tadi siang. Kami tak merasakan tiupan angin kerena pepohonan begitu rapat, hanya kejatuhan sedikit titik-titik air. Kami diam-diam berharap agar hujan tidak turun.
Saya berjalan lambat di belakang Iqbal dengan Aldo mengiringi dengan sabar dari belakang. Senter saya menyala redup sehingga Ado menggunakan senternya untuk menerangi jalan kami berdua. “Kemarin itu saya tersandung-sandung karena senter saya untuk menerangi jalan kakak,” kata Aldo keesokan harinya setelah kami turun gunung.
Setiap patok berarti 100 meter, namun terasa sangat panjang. Rasanya kekuatan sudah semakin berkurang, padahal medan semakin terjal, dengan tebing-tebing batu di beberapa tempat.
Perlu tenaga untuk mengangkat badan ke atas ketika berhadapan dengan batu setinggi badan saya. Untunglah banyak akar-akar yang bisa dijadikan pegangan. Beberapa tebing batu sangat curam, mengingatkan saya pada kecuraman Gunung Parang.
Bedanya, di Gunung Parang ada harness pengaman ganda, di sini hanya ada seutas tali. Saya mencengkeram tali dengan erat sampai tangan sakit, karena sadar risikonya. Mendadak saya berpikir Gunung Parang tidak semenyeramkan itu karena di sini, seutas tali itu pun hanya dikaitkan pada akar-akaran.
Saya hanya bisa melihat sedikit ke depan dan merayap, merangkak, satu langkah, satu langkah lagi.
Rasanya udara semakin lembap dan basah. Semakin dingin. Hari ini saya hanya makan Indomie.
Sambil mengatur napas saya teringat ayat Quran yang diulang dua kali secara berturut-turut, mungkin untuk menegaskan maknanya. Al Insyirah ayat 5 dan 6.
Sesungguhnya di dalam kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya di dalam kesulitan ada kemudahan.
Saya mengulang-ulang kalimat ini dalam hati, mencoba membayangkan kemudahan setelah mencapai puncak nanti.
Tapi bagaimana dengan kesulitan yang dicari sendiri? Apakah berarti kemudahannya sudah lewat? (Kemudahan santai-santai di rumah bersama mamah dan adik-adik tapi malah mencari kesusahan sendiri).
Kemudahan apa yang akan didapatkan setelah kesusahan ini? Saya dengar puncak yang kami tuju ini tertutup oleh pepohonan. Jadi kami tidak akan disambut pemandangan indah atau lautan awan seperti di gunung lain yang lebih tinggi.
Lalu apa kemudahannya?
Saat berpikir begitu sambil terus berjalan, kami mencium bau harum.
“Ini anggrek ya?” tanya Iqbal. Saya tidak mengenali bau bunga ini.
Lembut, namun bertahan selama beberapa saat berpadu dengan kesejukan udara. Mungkin anggrek atau bunga hutan lainnya.
Mungkin kemudahan itu selalu ada, kita hanya tidak melihat dan menghargainya. Karena saat itu gelap dan keindahan tidak bisa dilihat, mungkin kemudahan itu dikirimkan dalam bentuk keindahan yang bisa dirasakan oleh indra penciuman.
Sepertinya saya salah mengartikan. Kemudahan tidak (hanya) hadir setelah kesulitan, tapi juga bersamanya. Seiring dengan kesulitan itu sendiri. Seperti akar-akar dan batang pohon yang selalu ada di sepanjang jalan ketika kami sedang butuh pegangan.
Semakin sering naik gunung, saya semakin yakin bahwa mendaki gunung adalah laku spiritual. Sebuah perjalanan untuk mengenal diri, dan kekuatan di luar diri kita sendiri.
Kami tiba di puncak sekitar 19.30 yang artinya, hanya sekitar 90 menit dari matahari terbenam dan saat istirahat terakhir. 90 menit di apartemen biasanya terlewatkan dalam sekejap mata, namun 90 menit di sini terasa amat sangat lama dan berat.
Saya masuk tenda, membersihkan diri dengan tisu, mengoleskan skin care, ganti baju dengan baju berlapis lapis dan jaket, pakai kaos kaki lalu masuk ke kantong tidur. Cukup hangat, meskipun muka masih terpapar dingin.
Aldo dan Adrian masak, menu malam ini adalah nasi liwet dengan teri yang enak sekali. Semua makanan jadi jauh lebih enak di puncak gunung.
Saya tidur nyenyak meski terbangun beberapa kali karena suara angin yang mengesankan seperti ada yang mencoba membuka tenda. Saya mencoba menyakinkan diri, tidak ada siapa-siapa, itu hanya angin, sampai tertidur lagi.
Terbangun di tenda yang mulai menghangat, menyenangkan sekali naik gunung tanpa harus ‘muncak’ pagi-pagi buta. Di gunung-gunung sebelumnya, saya harus bangun jam tiga pagi lalu keluar dari kehangatan kantung tidur, berjalan malam-malam.
Karena tenda kami berdiri di puncak, kami bisa santai, tidur sampai matahari tinggi, lalu makan pagi sambil ngobrol dan berkemas-kemas untuk turun.
Rupanya tenda kami berada di dekat makam ‘Mbah Salak’, sebuah makam sederhana tanpa nama, dengan dupa yang belum habis terbakar di salah satu sudutnya. Konon banyak orang mendaki Gunung Salak dengan tujuan berziarah ke makam itu.
Perjalanan turun bermula dengan menyenangkan. Kini kami bisa melihat area yang semalam kami lewati dalam gelap.
Rasanya bagai berjalan di dalam sebuah terarium raksasa, pepohonan di atas kami, pohon pakis-pakisan di bawah, tanaman kecil, bunga dan lumut menempel di jalur yang kami lewati.
Sepertinya ini yang membedakan Gunung Salak dengan beberapa gunung lain yang pernah saya kunjungi. Di gunung lain, ada pemandangan yang lebih luas dengan langit terbuka di atas dan pemandangan di bawah sana. Di Salak, kita selalu terbungkus kepompong hutan.
Seperti memeluk hutan dan menjadi bagiannya, untuk sesaat.
Di satu tempat, bunga bunga putih berjatuhan di atas batu seperti karpet bunga dan kami berjalan di atasnya, mengikutinya bagai Hans dan Gretel yang berjalan mengikuti remah-remah roti. Semua tanaman di sini sepertinya berbahagia, bahkan lumut di batu amat sangat sehat dan hijau.
Kami kembali melintasi Kawah Ratu, kali ini saat senja. Sunyi. Tidak ada seorang pun selain kami berempat dan pohon-pohon mati yang hitam membatu. Warna cahaya jingga yang jatuh di batuan putih membuat lanskap ini sangat asing. Kenangan-kenangan akan tempat-tempat yang jauh berkelebat dan saya yakin tidak pernah berada di tempat seperti ini sebelumnya.
Bunyi binatang (tonggeret?) bergaung di seluruh penjuru hutan seperti konser mengiringi hilangnya cahaya terakhir matahari. Selarik senja merah, lalu kami harus berjalan di kegelapan lagi.
Kaki saya sudah gemetar. Tak terhitung berapa kali saya terpeleset dan jatuh ketika menuruni gunung. Keesokan harinya di rumah baru saya sadar sekujur kaki saya penuh memar.
Tak terhitung pula berapa kali kaki saya terperosok dalam lumpur rawa-rawa. Sepatu merah muda sudah sepenuhnya jadi coklat. Beruntung tak ada lintah yang menempel. Saya juga terantuk dahan pohon dan terserempet duri.
Kami tiba kembali di Pasir Reungit hampir pukul delapan malam setelah berjalan kaki selama 12 jam pada hari pertama, dan hampir 10 jam di hari kedua. 300 meter terakhir saya hampir menangis ketika memaksa kaki untuk berjalan di batu-batu yang tak rata, selangkah demi selangkah.
Salak sih.
Maka duduk di balai-balai bambu terasa seperti di surga. Mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun, membuat saya merasa sangat bahagia.
Sampai jumpa di gunung berikutnya, taman nasional berikutnya.
PS: Taman Nasional Gunung Halimun Salak punya penerbitan menarik yang bisa dibaca dan dilihat-lihat gambarnya soal jenis-jenis hewan melata, dari kodok beracun, ular naga, dan ular yang beracun karena mengambil racun kodok.
tulisan ini indah sekali, dan berhasil membuat saya iri, sudah lama tak masuk ke dalam hutan euy.
dirimu beruntung sekali mengalami banyak perjalanan yg menyenangkan
keren, dan salut!
Makasih om warm! Iya aku privileged sekali! Ayo coba masuk ke hutan lagi
Tulisannya deskriptif sekali, aku rindu menulis gini lagiii..
Hangat dan nyaman.
Terima kasih! Ayo dong menulis lagi
????????????????????????